Rabu, 28 Januari 2009

FOTOSINTESIS TANAMAN KOPI : in review

Karakter Fisiologis Fotosintesis serta Pengaruh Temperatur dan Ketersediaan Air terhadap Fotosintesis Tanaman Kopi

Penelitian awal pada tanaman kopi (Nutman, 1937 in Cannel, 1976) melaporkan bahwa fotosintesis berhenti pada jam 9 pagi dan dimulai kembali pada jam 4 sore, bergantung pada variasi penyinaran sepanjang hari. Sebaliknya, Marur et. al (2001) tidak menemukan adanya penurunan kisaran fotosintesis yang drastis selama interval waktu tersebut. Baru-baru ini, Marur and Faria (2006) kembali meneliti variasi harian kisaran fotosintesis pada daun tanaman kopi arabika, dimana daun-daun yang diamati diambil dari bagian atau posisi yang dianggap mewakili kanopi tanaman. Hasil dari penelitian ini menunjukkan, kisaran fotosintesis pada daun-daun tersebut mencapai puncaknya yaitu antara jam 7 dan 9 pagi. Diatas jam 9, kisaran fotosintesis mengalami penurunan hingga mencapai level yang sangat rendah (level yang tidak berarti), terutama ketika matahari tenggelam. Laporan ini sesuai dengan hasil penelitian DaMatta et al. (1997) yang dilakukan pada tanaman kopi kultivar Catuai yang berusia muda, dan hasil penelitian Mazzafera et al. (1995) pada tanaman kopi yang berproduksi rendah dan berproduksi tinggi.

Kisaran fotosintesis bersih pada tanaman kopi yaitu sekitar 7-11 μmol CO2.m-2.s-1, dimana nilai ini lebih rendah dari yang pernah dicatat pada tanaman C3 (15-25 μmol CO2.m-2.s-1) (Cannell, 1987 in Carelli et al., 2003). Selain itu, kisaran fotosintesis pada tanaman kopi arabika lebih rendah pada sore hari dibanding pagi harinya, pada level PAR (Photosynthetic Active radiation) yang sama. Awalnya terdapat peningkatan fotosintesis seiring dengan peningkatan PAR, dimana puncak PAR berkisar antara 600-1200 μmol.m-2.s-1 dan kemudian menurun pada penyinaran yang tinggi (Marur and Faria, 2006). Pernyataan serupa juga disampaikan pada hasil penelitian Carelli et al. (1999), dimana kejenuhan cahaya matahari dicapai pada penyinaran sekitar 650 μmol.m-2.s-1 dan 360 μmol.m-2.s-1, masing-masing pada tanaman kopi yang ditanam dibawah sinar matahari langsung dan yang ditanam dibawah kondisi penyinaran 50%. Ramalho et al. (2000) in Carelli et al., (2003) juga mengungkapkan hal yang hampir sama bahwa titik jenuh radiasi pada fotosintes daun kopi adalah rendah, sekitar 600-750 μmol.m-2.s-1 (pada daun yang terkena sinar matahari langsung) dan 300-400 μmol.m-2.s-1 (pada daun yang ternaungi). Namun di daerah Brazil dimana penanaman kopi dilakukan tanpa penaung, tanaman memiliki ketahanan terhadap penyinaran hingga sebesar 2000 μmol.m-2.s-1.

Fotosintesis bersih yang diamati pada tanaman kopi arabika kultivar IAPAR 59, menunjukkan bahwa pada sore hari nilainya kurang dari separuh level yang dicapai pada pagi harinya (Marur and Faria, 2006). Tampaknya, variasi terhadap kisaran fotosintesis bersih tanaman kopi dipengaruhi oleh perubahan temperature. Umumnya temperatur optimum untuk fotosintesis tanaman C3, dimana konsentrasi kompensasi CO2-nya berada pada level yang tinggi yaitu antara 20oC dan 25oC (Kimball et al., 1993). Pada tanaman kopi, penelitian tentang faktor-faktor yang memepengaruhi fotosintesis dimulai oleh Nutman (1937), yang menyatakan bahwa fotosintesis bersih lebih tinggi pada intensitas cahaya dan temperatur daun yang tinggi, karena pembukaan stomata tidak terpengaruh pada kondisi tersebut. Nures et al. (1968); Kumar and Tieszen (1980) memperkuat hasil pengamatan Nutman dan menemukan bahwa temperature optimum untuk aktivitas fotosintesis yaitu antara 20oC dan 25oC (Sanches et al, 2005).

Kumar and Tieszen (1976) menyatakan, kisaran fotosintesis bersih akan lebih rendah pada temperature 30oC dibandingkan pada temperature rendah 10oC. Sedangkan Nures et al. (1968) menggunakan tanaman kopi arabika dalam pot, melaporkan bahwa pada tanaman dewasa, setiap peningkatan temperature 1oC terjadi penurunan 10% produksi berat kering pada suhu diatas 24oC. Respon ini terkait dengan pengaruh temperature terhadap kisaran fotosintesis bersih, yang erat hubungannya dengan penutupan stomata dan atau kerusakan mesofil (DaMatta and Ramalho, 2006).

Pada suhu 35oC, penurunan kisaran fotosintesis bersih terkait dengan penutupan stomata, sebagai respon terhadap adanya peningkatan VPD (Vapor Pressure Deficit) udara (Sanchez, at al., 2005), dan peningkatan fotorespirasi akibat meningkatnya difusi O2 pada sisi aktif enzim sehingga aktivitas oksigenase enzim Rubisco juga meningkat (Zelitch, 1971; Ogren, 1984; Lawlor, 1987 in Sanchez, at al., 2005). Sedangkan Cannel (1976) in Marur and Faria (2006) menemukan bahwa peningkatan fotorespirasi dan konsentrasi CO2 internal pada daun terjadi pada temperature diatas 20oC yang mengakibatkan stomata menutup.

Sondahl et al. (1976) in Carelli et al. (2003) menegaskan bahwa fotorespirasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kisaran fotosintesis Coffea canephora dibandingkan pada Coffea arabica. Pada saat konsentrasi O2 lebih rendah dari 20 hingga 5%, kisaran fotosintesis bersih meningkat 29% pada Coffea canephora cv Guarini, sedangkan pada Coffea arabica cv Catuai tidak ditemukan perubahan yang signifikan. Sanchez et al. (2005) menambahkan, terjadinya fotorespirasi ditandai oleh meningktanya titik kompensasi CO2, sehingga menyebabkan adanya kehilangan CO2 dan selanjutnya mengurangi atau menurunkan efisiensi fotosintesis.

Jones and Mansfield (1970); Sondahl (1976) in Sanchez et al (2005) mempelajari titik kompensasi CO2 sebagai penduga terhadap efisiensi fotosintesis dan menemukan bahwa titik kompensasi CO2 berakhir pada suhu 25oC yaitu sekitar 65 μmol (CO2) mol-1 (air). Pada tiga genotype kopi (Coffea arabica L cv Columbia, cv Caturra, dan Hibrido de Timor), kisaran fotosintesis tertinggi (11.7 μmol (CO2) m-2s-1) dicapai pada temperature 25oC dan pada konsentrasi CO2 350 μmol (CO2) mol-1 (air). Pada tanaman C3, waktu untuk mencapai titik kompensasi CO2 lebih panjang dari tanaman C4. Pada tanaman C4, kehilangan CO2 akibat fotorespirasi sangat kecil bahkan hampir tidak terjadi, sehingga kisaran input CO2 bersihnya lebih tinggi dari tanaman C3 (Canvin, 1979 in Sanchez et al., 2005). Pada Coffea arabica cv Columbia, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik kompensasi CO2 yaitu sekitar 60 hingga 65 menit, sedangkan jagung yang merupakan tanaman C4 hanya membutuhkan waktu 25 menit.

Penanaman kopi pada area terbuka menyebabkan daun terekspos radiasi matahari yang tinggi, sehingga kehilangan energi menjadi lebih besar dibandingkan dengan yang terpakai untuk aktivitas fotosintesis. Cannell (1985) and Wringley (1988) melaporkan, temperature yang tinggi menginduksi terjadinya klorosis dan efek terbakar pada daun sebagai akibat rusaknya klorofil serta rusaknya apparatus yang berperan dalam fotosintesis. Selanjutnya, pengaruh tersebut akan menghambat proses utama PS II (fotosistem II) dan transport electron di tylakoid, serta menghambat aktivitas dan sintesis enzim Rubisco di dalam stroma (DaMatta and Ramalho, 2006). Pada tanaman kopi arabika, rendahnya kisaran fotosintesis bersih pada suhu 35oC salah satunya disebabkan oleh adanya hambatan pada aktivitas enzim Rubisco. Riano and Lopez (1998) melaporkan bahwa temperature optimal untuk aktivasi enzim Rubisco yaitu antara 25oC dan 28oC (Sanchez et al., 2005).

Penurunan terhadap kisaran fotosintesis bersih juga diinduksi oleh suhu atau temperature rendah. Sanchez et al. (2005) mengamati pada Coffea arabica cv Caturra, bahwa pada suhu 15oC, kisaran fotosintesis bersih dibatasi oleh regenerasi RuDP (Ribulose 1.5 diphosphate), karena kecepatan transport electron berkurang, akibatnya pembentukan ATP dan NADH menjadi terbatas dan kapasitas regenerasi Pi (phosphate inorganic) selama pembentukan gula dan sukrosa menjadi lebih rendah. Larcher (1981) in DaMatta and Ramalho (2006) menyebutkan hal serupa bahwa fotosintesis bersih terhenti pada temperature 5-10oC akibat adanya penurunan konduktan stomata, degradasi pigmen dan reduksi aktivitas PS I dan PS II, restriksi transport electron, penurunan aktivitas enzim dan metabolisme karbohidrat, serta peningkatan permeabilitas membran kloroplast.

Kisaran fotosintesis bersih selain dipegaruhi oleh efek perubahan temperature, juga dipengaruhi oleh level ketersediaan air baik di dalam tanah maupun di atmosfer. Kebanyakan penelitian pada tanaman kopi yang ditanam pada pot, menunjukkan bahwa kisaran fotosintesis bersih mengalami penurunan seiring dengan menurunnya potensial air di dalam tanaman (Ψw). Namun belum begitu jelas berapa besaran kisaran potensial air yang menyebabkan penurunan tersebut, karena penelitian dihadapkan pada faktor-faktor yang bervariasi, yaitu keanekaragaman genotype, kondisi pertumbuhan, kisaran dari perkembangan stress pada tanaman, dan pengaruh kondisi lingkungan selama pengukuran itu berlangsung (DaMatta, 2003 in DaMatta and Ramalho, 2006).

Perbedaan tekanan air di dalam tanaman dan di udara cenderung berpengaruh terhadap daya hisap atmosfer, atau yang dikenal dengan VPD (vapor pressure deficit). Pada tanaman Coffea arabica cv. Typica yang ditanam pada pot, kisaran fotosintesis bersih menurun seiring dengan meningkatnya VPD dari 0.2 hingga sekitar 1.7 kPa (Fanjuhl et al., 1985). Sedangkan pada Coffea arabica cv. Arabigo relative tidak berubah pada peningkatan VPD dari 0.5 hingga 1.5 kPa, tetapi kisaran fotosintesis bersih selanjutnya menurun secara linear seiring dengan meningkatnya VPD (Hernandez et al., 1989). Kedua kondisi tersebut menunjukkan bahwa pengaruh VPD terhadap konduktan stomata lebih besar dibanding pada kisaran fotosintesis bersihnya. Hal ini berhubungan dengan aliran atau pergerakan CO2 ke dalam daun. Pada penutupan stomata sebagian, pergerakan CO2 ke dalam daun tidak mengalami penurunan sehingga tidak mempengaruhi fotosintesis. Namun, apabila stomata menutup maka pergerakan CO2 ke dalam daun berkurang sehingga muncul hambatan dalam aktivitas fotosintesis (DaMatta and Ramalho, 2006).

Hambatan stomatal terhadap fotosintesis akan diperburuk dengan adanya kekeringan. Pada kondisi kekurangan air yang moderat, penurunan leaf area tidak terlalu mempengaruhi penurunan kisaran fotosintesis bersih tanaman kopi, tapi apabila kekeringan kemudian berlanjut dan berkembang maka penurunan yang kuat akan terjadi pada kisaran fotosintesis per unit leaf area (Meinzer et al., 1992 in DaMatta and Ramalho, 2006).

Pada beberapa kondisi kekeringan, seringkali terjadi hambatan yang bersifat non-stomatal terhadap fotosintesis. Kemampuan tanaman yang lebih rendah dalam proses penyesuaian diri terhadap kekeringan akan meningkatkan stress, yang diinduksi oleh ketidakseimbangan level kloroplas. Pada kopi, ketidakseimbangan seperti itu rupanya tidak berhubungan dengan efisiensi fotokimia dari PS II (karena pada kenyataannya rasio fluorosecence maksimum cenderung stabil dibawah kekeringan) atau dengan penurunan konsentrasi pigmen fotosintesis, tetapi diduga melibatkan penurunan fungsi karboksilasi Dibawah kondisi kekeurangan air yang cepat (Ψw = -3.0 MPa), aktivitas awal Rubisco (tetapi tidak termasuk konsentrasinya) menurun akibat karboksilasi sebesar 60%, tetapi ketika kekurangan suplai air diberikan secara perlahan atau pelan, konsentrasinya juga akan menurun (DaMatta and Ramalho, 2006).

2.2 Pengaruh Anatomi Daun terhadap Efisiensi Fotosintesis Tanaman Kopi

Meskipun diklasifikasikan sebagai tanaman C3, tanaman kopi memiliki keistimewaan terkait dengan anatomi daun dan kisaran fotosintesisnya. Penelitian terdahulu menemukan bahwa pada Coffea arabica cv Caturra dan Coffea canephora memiliki sebuah lapisan sel-sel parenkim di sekitar vascular bundle, dimana pada bagian ini memiliki kloroplas mirip dengan kloroplast yang terdapat pada sel-sel mesofil. Penemuan tersebut menimbulkan dugaan bahwa pada beberapa genotype kopi mungkin memiliki jalur fotosintesis yang berbeda dengan tipikal spesies C3 lainnya.

Dewasa ini, ditunjukkan bahwa genotipe-genotipe Coffea arabica memiliki aktivitas PEP yang lebih tinggi dari tanaman C3 lainnya. Disamping itu, juga terdapat dugaan bahwa fotorespirasi memiliki pengaruh yang lebih signifikan pada Coffea canephora daripada Coffea arabica. Bundle Sheath Cells (BSC) pada beberapa spesies kopi berkontak langsung dengan sel-sel parenkim palisade, yang menunjukkan adanya transport interseluler yang lebih tinggi. Meskipun demikian, hal ini tidak serta merta menunjukkan bahwa tanaman kopi tergolong sebagai tanaman intermediet C3-C4.

Peningkatan densitas sel-sel mesofil pada daun kopi yang tidak ternaungi dihubungan dengan kisaran fotosintesisnya, dimana nilai δ13C daun tersebut lebih tinggi dari tanaman kopi yang tumbuh dibawah naungan. Hal tersebut menyimpulkan bahwa tanaman kopi yang tumbuh dibawah sinar matahari langsung memilki efisiensi fotosintesis yang lebih tinggi. Dengan demikian, dapat dikatakan terdapat korelasi antara nilai δ13C daun dan karakteristik anatomis tanaman kopi terhadap efisiensi fotosintesisnya (Carelli et al., 2003).

2.3 Pengaruh Posisi Daun dan Naungan terhadap Kisaran Fotosintesis

Tanaman Kopi

Keanekaragaman pada seluruh bagian tanaman kopi, khususnya perbedaan dalam mendapatkan sinar matahari dan juga karakter fisiologis dari masing-masing organ tanaman, mengakibatkan proses pembandingan dan pengintegrasian dari pengukuran kisaran fotosintesis menjadi sulit dilakukan. Selain itu, posisi daun pada tanaman tidak secara jelas digambarkan pada kebanyakan hasil penelitian, dimana umumnya percobaan tersebut dilakukan dibawah kondisi green house yang cenderung mengurangi radiasi matahari atau dilakukan dalam growth chamber dimana tanaman diberi penyinaran buatan.

Marur et al. (2006) mengidentifikasi kisaran fotosintesis daun tanaman kopi yang tumbuh di lapang , dimana daun yang diamati terletak pada posisi berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat variasi kisaran fotosintesis yang besar diantara daun-daun tersebut. Daun pada posisi eksternal (pada bagian luar kanopi) menangkap sinar matahari lebih tinggi serta mencapai titik jenuh cahaya tetapi bersifat memantulkan dan meneruskan sejumlah foton untuk mengaktifkan fotosintesis pada daun-daun yang dinaungi dengan kisaran kurang dari 1/3 dari daun eksternal. Selain itu, daun-daun yang berada pada posisi utara dan timur berdasarkan orientasi cardinal memiliki kisaran fotosintesis yang tertinggi sepanjang hari.

Araujo et al. (2008) melaporkan bahwa pada Coffea arabica, L. tidak terdapat perbedaan kapasitas fotosintesis yang besar antara daun-daun yang ternaungi dan yang terkena sinar matahari langsung, dimana kisaran fotosintesis bersih yang rendah lebih berhubungan dengan difusi yang rendah, daripada dengan hambatan pada proses biokimia ataupun fotokimia. Selain itu, juga dijelaskan bahwa plastisitas morfologikal dan anatomical memberikan nilai adaptif yang lebih besar dari plastisitas fisiologi pada daun kopi sebagai respon terhadap perubahan penyinaran.

Naungan (shading) pada tanaman Coffea arabica, L. berperan dalam meningkatkan luas area individu daun, jumlah klorofil per unit berat daun (Hollies, 1967), mengurangi pengaruh dari pembatasan stomatal akibat menurunya VPD dan meningkatkan efektivitas fotosintesis (Frank et al., 1999). Pada level penyinaran yang lebih rendah, permintaan sink rendah karena pembentukaan buah juga rendah. Hal ini menginduksi penurunan fotosinesis daun kopi hingga pada level yang hampir sama dengan tanaman kopi yang ditumbuhkan pada level penyinaran ≥ 40%.

Pembatasan yang bersifat non-stomatal akan meningkat hingga lebih dari 90% baik dengan naungan atau tanpa naungan, pada kondisi dimana daun mengalami dehidrasi (-3.0 MPa). Level dari total protein terlarut daun, Rubisco dan klorofil, dan aktivitas keseluruhan dari transport electron juga menjadi tidak efektif oleh adanya dehidrasi tersebut (Kanechi et al., 1996).

2.4 Pengaruh Pemupukan terhadap Ketahanan Tanaman Kopi pada

Intensitas Penyinaran yang Tinggi

Walaupun kopi arabika secara alami tumbuh pada habitat yang ternaungi, tetapi tanaman ini dapat dibudidayakan dibawah intensitas cahaya yang tinggi. Namun, beberapa fotoinhibisi seringkali terjadi terutama pada saat dilakukan pemindahan bibit ke lahan produksi. Pengaruh intensitas penyinaran yang tinggi menginduksi adanya perubahan-perubahan terhadap performa fotosintesis tanaman (Nunes et al., 1993), dimana pengaruh tersebut dapat diatasi dengan peningkatan level pemupukan.

Pada Coffea arabica, L. aplikasi pupuk dengan formula dan dosis yang tepat mampu meningkatkan kemampuan adaptasi tanaman terhadap intensitas penyinaran yang tinggi dibandingkan dengan tanaman yang dipupuk ringan (sedikit). Hal ini menunjukkan tingkat fotoinhibisi yang rendah, terkait dengan pemakaian energi dalam jumlah besar baik dalam proses fotokimia maupun dalam siklus xantophyll (Cai et al., 2007). Pengaruh pemupukan terhadap kemampuan adaptasi tanaman kopi pada lingkungan penyinaran yang tinggi juga dilakukan oleh Nunes et al. (1993). Tanaman Coffea arabica cv Catuai yang diekspos pada penyinaran penuh serta tidak diaplikasikan dengan pupuk nitrogen menunjukkan penurunan leaf area fotosintetik dan kerontokan secara drastic pada daun. DaMatta et al. (2003) juga melaporkan, keterbatasan nitrogen dapat menurunkan efisiensi fotokimia maksimum dari fotosistem II pada tanaman Coffea canephora.

2.5 Fotosintesis pada Buah Kopi

Intensitas fotosintesis pada daun dan buah baik pada kopi Robusta maupun kopi arabika telah dideterminasi. Intensitas fotosintesis kopi robusta lebih tinggi dari kopi arabika, dimana intensitasnya bervariasi sesuai dengan tahapan perkembangan buah, tingkat kemasakannya dalam kelompok, danukuran buah. Baik pada kopi robusta dan arabika, intensitas fotosintesis pada buah meningkat seiring dengan peningkatkan volume dan berat buah. Intesita fotosintesis pada buah yang tertinggi ditemukan pada buah yang mencapai berat kering dan dimensi maksimum (Thai and Than, 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar